Main » 2009 December 20 » SOSIALISASI DAN PELEMBAGAAN KULTUR POLRI
21:39:27 SOSIALISASI DAN PELEMBAGAAN KULTUR POLRI | |
Masih banyak terdapat nilai-nilai dan pola perilaku kontra produktif yang masih terjadi saat ini, yang merupakan pencerminan kultur Polri pada era Dwi Fungsi ABRI, tentu tidak terbentuk dalam ruang yang kosong. Terutama kalau kita mencermati proses yang terjadi pada individu-individu anggota Polri, maka akan muncul pertanyaan bagaimana individu tersebut menginternalkan nilai-nilai kultur Polri, dan seterusnya berperilaku baik di lingkungan kerja maupun dalam interaksi dengan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tersebut? Proses internalisasi kultur ini dalam konteks individu disebut sebagai sosialisasi nilai-nilai dan pola perilaku (Lundman, 1980), dan dalam tataran lembaga disebut sebagai pelembagaan kultur organisasi. 1. Sosialisasi di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Tahap sosialisasi kultur organisasi yang paling kritis terjadi pada masa awal masuknya anggota baru ke dalam organisasi kepolisian. Pada tahap ini terjadi proses pengubahan total "kepribadian" calon anggota polisi menjadi anggota penuh korps kepolisian. Proses perombakan ini terjadi dalam pendidikan penyiapan anggota baru, yang di dalam Polri dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan pembentukan (Diktuk). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi nilai-nilai dan pola perilaku polisi terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) seleksi, (2) pelatihan semi-militer yang diantaranya menekankan pada pembentukan kedisiplinan, ketaatan pada perintah dan ketegasan bertindak, dan (3) praktek kerja di lapangan (Lundman, 1980). Sebagaimana di negara-negara lain, proses seleksi calon anggota Polri pun mengandung bias yang akan berpengaruh terhadap proses sosialisasi dan pelembagaan kultur organisasi. Bila di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa bias tersebut berkisar pada isu rasial, yaitu antara kulit putih dan kulit hitam, beberapa literature menunjukkan bahwa proses seleksi calon anggota Polri adalah bias kepentingan pribadi. Di dalam organisasi Polri sendiri berkembang gurauan bahwa anak Pati baru akan ditolak bila tidak bisa lagi ditutupi dengan jaket. Tidak pandang prestasi SMA-nya bagaimana asal tubuhnya tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus (sehingga kalau ditutupi jaket akan terlihat gagah), maka anak tersebut akan diterima. Seleksi yang tidak fair ini menjadi salah satu pertanda rendahnya kualitas karakter taruna Polri. Kultur potong kompas sudah mereka kenal sejak melangkah ke pintu gerbang Akademi Kepolisian, dan seterusnya terpelihara dalam lingkungan kerja di Polri. Di balik langkah-langkah ala militer yang kaku dan tegap tersembunyi sifat manja, minta dilayani, dan mencari kemudahan. tingginya intervensi dari orang tua terhadap nilai ujian taruna. Dengan demikian belajar di Akpol, bagi taruna-taruna seperti ini bukanlah untuk menguasai substansi ilmu, teknik, dan metode-metode kepolisian, melainkan syarat formal untuk mendapatkan nilai dan ijazah kelulusan. Fenomena serupa terjadi di Selapa, salah satu lembaga pendidikan pengembangan Polri. Terjadi transaksi kesempatan diterima di Selapa pada sebagian besar siswa. Besarnya uang sogokan tergantung dari daerah mana dia bertugas, dan di bagian apa. Calon siswa dari Satserse dan Satlantas, di Polda Jakarta harus membayar antara 50 s/d 60 juta. Bagi siswa dari daerah lain tarif masuk sekitar 10 s/d 15 juta. Setelah masuk pendidikan mereka harus iuran Rp. 5.000,- untuk setiap satu mata ujian dan menunggu pengumuman nilai hasil ujian. Uang yang terkumpul diberikan kepada pengawas ujian. Apa yang dipelajari oleh siswa dalam situasi seperti ini. Sekali lagi komersialisasi jabatan adalah hal yang terlegitimate. Bahkan sangat diperlukan kemampuan mereka untuk mengkomersial-kan jabatan mereka bila ingin berkembang kariernya. Bagaimana tidak, pendidikan Selapa dan PTIK merupakan syarat mutlak mereka untuk naik ke jenjang Pama, Pamen dan mungkin nanti ke Pati. Darimana mereka mendapatkan uang untuk membeli tiket masuk bila tidak mengkomersialkan jabatan mereka? Materi kemiliteran memiliki porsi yang sangat besar di lembaga-lembaga pendidikan pembentukan Polri. Dari 1600 jam pelajaran Semaba PK, 947 jam (62,5%) adalah materi kemiliteran, yang terdiri atas dasrit (636 jam pelajaran), permildas (120 jam pelajaran), pengetahuan dan teknik tempur (160 jam pelajaran), pengetahuan taktik tempur (30 jam pelajaran), dan hukum militer (28 jam pelajaran). Terlihat bahwa materi tentang kemiliteran lebih dominan dibandingkan dengan materi teknik kepolisian. Padahal hasil didikan adalah para bintara, yang nantinya akan langsung berhadapan dengan masyarakat. Ini yang menjadi penyebab munculnya perilaku dan pembawaan diri anggota Polri yang sangat militeristik. Memang terdapat penurunan proporsi materi kemiliteran searah dengan jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Porsi kemiliteran di Secapa lebih sedikit dibanding Secaba, dan Akpol lebih sedikit dari Secapa. Namun jumlah itu masih terasa signifikan. Pada Setukpa reguler, dasrit diberikan selama 576 jam dari 2400 jam pelajaran (24 %), sedangkan di Akpol sebanyak 20 minggu dari 103 minggu belajar efektif (20 %0. Jumlah ini tentu masih sangat signifikan, apalagi ditambah konsep pendidikan yang bersendikan konsep kesatriaan yang sangat militeristik, sehingga menciptakan proses total environmental reinforcement dalam internalisasi nilai-nilai militerisme. Pada dasarnya materi dasrit tidaklah seratus persen bersifat negatif. Latihan-latihan kemiliteran yang keras dapat merombak pribadi seseorang dalam waktu yang singkat. Kepercayaan diri adalah salah satunya, dengan bentuk kesiapan untuk bertugas kapan pun, di mana pun, dan menghadapi tantangan apa pun. Namun penekanan yang berlebihan, seperti yang terjadi selama ini, menciptakan proses internalisasi doktrin militer yang represif dan kontra produktif, yang akan mengganggu profesionalisme dan penampilan kerja Polri. Proses belajar di lembaga-lembaga pendidikan pembentukan Polri mengesankan sebagai proses formalistik, tidak menyentuh substansi dasar tujuan pendidikan. Terjadi alokasi jam tatap muka dan proses belajar mandiri dengan besarnya muatan akademik tidak seimbang. Penguasaan materi bukan hal yang penting dalam pendidikan ini. Yang lebih dipentingkan adalah disiplin dan bisa mengerjakan soal-soal yang diujikan. Karena soal ujian hampir selalu berpola multiple choice dan tidak berbeda dari waktu ke waktu, maka terjadi peluang perdagangan soal ujian dan uang sogokan agar pengajar bersedia memberikan ujian dan mengeluarkan nilai-nilainya. Pengaruh terhadap para siswa Polri adalah terinternalnya secara tidak sadar kultur komersialisasi kewenangan yang diajarkan oleh "guru-guru" mereka di lembaga pendidikan. Di samping itu terinternalisasi juga kultur formalisme kerja, yaitu mengukur tujuan dan hasil kerja bukan dari substansi kebutuhan, melainkan dari standar formal pelaksanaan kerja. Berikutnya adalah matinya kreativitas, inovativitas, dan proaktivitas siswa Polri dalam berhadapan dengan realitas social yang ada di masyarakat. Pendidikan telah mengarahkan mereka pada penyeragaman total dengan dasar konformitas mutlak. Tentu ini sangat berbeda dengan dinamika kemasyarakatan, sehingga mereka mengalami hampatan dalam proses interaksi dengan masyarakat Terjadi proses sosialisasi dan pelembagaan nilai-nilai dan pola perilaku Polri yang kontra-produktif. Di dalam pendidikan pembentukan terjadi proses sosialisasi dan pelembagaan nilai-nilai represif yang militeristik secara berlebihan. Di samping itu secara tidak disadari terjadi pula proses sosialisasi pola perilaku kerja yang formalistik, dalam arti melaksanakan tugas semata-mata untuk menuruti perintah atasan, dan bukan sebagai upaya untuk memecahkan substansi permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Di dalam lembaga pendidikan dan pengembangan Polri terjadi proses awal sosialisasi dan pelembagaan kebiasaan meng-komersial-kan jabatan. Siswa mulai terjebak pada kondisi dilematis, conform pada kebiasaan yang tidak produktif ini atau tersingkir dalam perjalanan karir sebagai anggota Polri. 2. Sosialisasi melalui saluran Sistem Formal Organisasi 2.1. Etika Militerisme Etika secara umum memiliki arti sebagai kumpulan nilai tentang moral, kewajiban, dan hak yang dianut oleh suatu masyarakat. Pokok kajian etika dengan demikian berkenaan dengan persoalan: sejauh mana suatu kumpulan nilai mewujud pada sikap dan tindakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Kunarto bahwa etika terkait dengan tingkah laku, moral, tingkah laku, adat, kebiasaan, cara berpikir, yang kemudian mendorong seseorang untuk bersikap dan bertindak secara etis (Kunarto, 1997). Pengertian di atas menegaskan bahwa di dalam etika terkandung dua aspek sekaligus, yakni aspek teleologis dan aspek proses. Artinya, untuk melihat cara seseorang bersikap/bertindak, tidak semata-mata diukur dari hasil atau akibatnya, melainkan dapat pula dicapai dengan melihat proses identifikasi seseorang pada muatan nilai yang menjadi acuannya dalam bersikap/bertindak. Di samping itu, operasionalisasi etika berlangsung ketika seseorang menghadapi kondisi dilematis. Oleh karenanya, muatan proses beretika dipandang perlu dan bersifat strategis untuk mengkaji persoalan kultur Polri. Cara pandang inilah yang akan digunakan untuk melihat perwujudan kultur Polri dalam nilai-nilai dan pola perilaku anggota Polri. Polri memiliki sedemikian banyak sumber acuan tentang etika kepolisian. Sampai dengan sekarang ini, terdapat 12 sumber acuan yang bersifat baku. Lima di antaranya merupakan kumpulan acuan etika yang dikembangkan oleh Polri, yakni Tri Brata, Kode Etik Polri, Catur Prasetya, Lambang Polri, dan Himne Polri. Tujuh sumber acuan lainnya merupakan 7 unsur dalam Kode Etik ABRI, yaitu Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 11 Azas Kepemimpinan, 8 Wajib ABRI, Hakekat ABRI, Komsos Pol - ABRI, dan Kode Etik Perwira. Tujuh acuan ini merupakan manifestasi dari kedudukan Polri sebagai bagian dari ABRI. Di samping 12 acuan nilai tersebut, semboyan-semboyan kepemimpinan yang digunakan oleh setiap Kapolri juga menjadi landasan etika bagi setiap anggota Polri. Semua sumber acuan tersebut, masing-masing dirumuskan dalam bahasa-bahasa yang sloganistik, yang dengannya setiap anggota Polri diharuskan melandaskan cara berpikir, bersikap dan bertindak. Salah satu upaya untuk menyederhanakan proses identifikasi seseorang dengan acuan moralnya adalah melalui personifikasi. Upaya sederhana untuk melihat proses ini adalah melalui personifikasi. Personifikasi dasar-dasar etika yang biasa digunakan oleh Polri adalah bhayangkara yang mengidentifikasikan diri sebagai bhayangkara negara dan bangsa. Penerjemahan operasional dari bhayangkara adalah semangat polisi pejuang. Anggota Polri bukan semata-mata seorang polisi profesional, lebih dari itu adalah patriot bagi bangsanya. Paparan berikut ini akan menunjukkan bagaimana konsep diri bhayangkara dan polisi pejuang dilakukan oleh para anggota Polri pada berbagai tingkatan kepangkatan dan setting situasi. Beberapa indikasi menunjukan masih terasa kuatnya identifikasi bintara-tamtama Polri pada identitas diri sebagai aparat militer. Dalam parameter universal polisi sebagai civilian in uniform, identitas bintara-tamtama lebih dominan pada uniform dibandingkan sebagai civilian. Hasil. Identifikasi diri sebagai militer tidak hanya terwujud dalam perilaku dalam setting formal. Dalam kehidupan sosial, cara berpikir dan bertindak tanpa syarat ala militer juga terasa sangat dominan. Dugaan atas temuan ini adalah bahwa sosialisasi pribadi militer pada bintara-tamtama telah melebihi dari yang dibutuhkan. Nilai-nilai dan pola perilaku militer tidak saja digunakan untuk membentuk kualitas kedisiplinan, ketaatan pada perintah dan keberanian serta keteguhan dalam bertindak, melainkan telah digunakan sebagai cara berpikir dalam memecahkan permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat. Pama yang berpendidikan Secapa (pama-Secapa) menunjukkan pola yang mirip dengan bintara-tamtama.. Hal yang membedakan antara pama-Secapa dengan bintara-tamtama adalah pada kemampuan mereka dalam menyesuaikan ekspresi pribadi militer tersebut pada setting sosial. Mengingat bahwa pama-Secapa rata-rata berusia di atas usia 30 tahun, berdasarkan kerangka pertumbuhan psikologis individu, dapat disimpulkan bahwa identitas militer yang ada dapat diduga bersifat menetap. Dengan predisposisi demikian dapat diduga bahwa orientasi kerja pama-Secapa adalah ketaatan pada prosedur. Mereka melaksanakan tugas benar-benar sesuai dengan apa yang sudah digariskan, sekalipun di lapangan mungkin diperlukan penyesuaian-penyesuaian. Secara tegas dapat dikemukakan bahwa mereka tidak bekerja untuk melayani masyarakat, melainkan untuk melayani atasan. Mereka bekerja tidak dalam semangat menuju kebaikan masyarakat, melainkan demi motif-motif keselamatan karir pribadi. Dalam posisi mereka sebagai first line manager yang langsung berhadapan dengan masyarakat sekaligus melakukan supervisi langsung terhadap bawahan yang berpangkat bintara dan tamtama, maka pola nilai dan pola perilaku ini bersifat sangat kontraproduktif terhadap upaya menegakkan citra profesionalisme dan kinerja Polri ke depan . 2.2. Kultur Komersialisasi Jabatan Keterbatasan anggaran operasional benar-benar dirasakan di tingkat Polsek sampai Polda. Kekurangan anggaran operasional yang pada gilirannya memunculkan sejumlah ekses di lapangan karena tugas tetap harus dilaksanakan. Secara sederhana, kekurangan anggaran operasional terkonstruksi ke dalam ungkapan plesetan yang secara simbolik menunjukkan kompleksitas problem keuangan, yaitu istilah Kapuskodalops yang arti sesungguhnya adalah Kepala Pusat Komando dan Pengendalian Operasi digubah pengertiannya sebagai : kepala pusing kurang modal untuk operasi. Meskipun modal untuk operasi kurang, namun polisi yang mengidentifikasi diri sebagai Ksatria dan Bhayangkari tak mengenal kata surut dari tugas. Maka berbagai operasi baik serse, intel, lantas, sabhara maupun bimmas harus tetap berjalan. Gedung-gedung markas polisi harus tetap dibangun, dan perlengkapannya harus tetap dicukupi. Tamu-tamu dari pusat pun harus tetap dilayani dengan servis istimewa sebagai layaknya petinggi. Maka solusi yang ditempuh adalah melakukan konsep kemitraan dan partisipasi. Secara baku makna kedua kata tersebut adalah hubungan dua pihak dalam sebuah kesetaraan. Namun makna kemitraan yang terkait dengan Polri bersifat khas. Disamping maknanya yang sebenarnya, kemitraan bagi Polri adalah masyarakat, terutama para pengusaha atau badan usaha, memberikan bantuan kepada polisi. Bantuan itu digunakan baik untuk pengadaan sarana dan prasarana maupun untuk kegiatan-kegiatan operasional. Gambaran operasional konsep kemitraan dalam kegiatan operasional tercermin dari parodi bintara reserse, sebagaimana diungkapkan oleh seorang perwira. Dikemukakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya bintara serse mendapat perintah dari atasan, namun menyangkut urusan dana operasional kepada N-ci, sedang sasaran tugasnya adalah John. N-ci merupakan simbolisasi dari kelompok non-pribumi keturunan Cina yang berkedudukan sebagai penyokong dana, sementara John merupakan simbolisasi dari kelompok pribumi yang kerap menjadi asal pelaku tindak kejahatan. Gambaran lain yang berupa fasilitas kendaraan operasional, lengkap dengan sopir-nya. Ternyata kendaraan ini bukan milik Polda atau Polres. Kendaraan ini adalah "pinjaman" dari dealer-dealer mobil. Peminjaman itu tentu bukan dengan membayar secarai tunai ataupun mengangsur, melainkan dengan ‘balas jasa’ dari pihak Polri kepada dealer tersebut ketika menghadapi masalah yang berkaitan dengan polisi. Hal semacam ini merupakan kelaziman, setiap kali ada tamu yag memerlukan fasilitas kendaraan. Hal serupa, juga kerap berlaku untuk penyediaan penginapan, seringkali dengan menyediakan hotel berbintang kepada para tamu. Untuk mengatasi sedikitnya dana operasional adalah berasal dari sumbangan-sumbangan masyarakat, sebagai bentuk ucapan terima kasih atas selesainya perkara hukum. Penyelesaian perkara hukum itu terutama berkait dengan kewenangan diskresi yang dimiliki polisi. Biasanya masyarakat yang perkaranya di-deponir akan memberikan ungkapan terima kasih. Ditemukan istilah yang khas untuk hal ini yaitu "kasus di-86-kan". Arti dari ungkapan ini adalah sebuah perkara dihentikan penyidikannya. Sebagai imbalan, pihak yang dirugikan dalam perkara memberikan uang jasa kepada polisi. Dasar pemberian itu adalah ungkapan tulus perasaan terima kasih masyarakat. Padahal mungin saja bisa terjadi akibat permintaan yang memaksa dari polisi baik secara verbal maupun non-verbal. Bentuk paksaan non-verbal adalah polisi akan mempersulit urusan. Mekanisme bottom-up finance flows. Yang dimaksudkan adalah satuan di bawah memberikan support dana operasional kepada satuan di atasnya. Polsek menyetorkan dana ke Polres, satuan-satuan basah (Lantas, Serse, IPP) menyetorkan kepada Kapolres. Polres memberikan setoran kepada Polwil dan Polda. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk kegiatan operasional dan pengembangan atau bisa saja sebagian digunakan untuk keuntungan pribadi. Fenomena uang sogok tidak hanya kasus atau dilakukan oleh oknum, melainkan praktek resmi di Polri. Untuk menutupi praktek resmi ini digunakan jargon "kemitraan". Penyelewengan di tingkat organisasi ini menjadi model bagi anggota Polri untuk menyelewengkan kewenangannya. Mereka menjadi tidak sensitif terhadap isue-isue korupsi dan kolusi. MENUJU KULTUR BARU POLRI Sebagai bagian dari individu manusia dan organisasi yang terus hidup dan berkembang, kultur organisasi pun mengalami perubahan-perubahan. Fakta ini menunjukkan adanya peluang yang besar untuk mengembangkan kultur organisasi Polri yang lebih produktif. Secara operasional ini berarti membentuk dan mengembangkan nilai-nilai dan pola perilaku anggota dan organisasi Polri yang terus mengarah pada paradigma Polri yang baru, yang berintikan semangat demokrasi, pendekatan pemolisian yang lebih humanis, dan sasaran tugas mendukung terbentuknya masyarakat ma4dani yang mampu melayani, mengayomi dan melindungi dalam arti yang sesungguhnya. Beberapa rekomendasi untuk langkah-langkah operasional pengembangan kultur Polri yang baru. Saluran pertama yang dapat dimanfaatkan adalah lembaga-lembaga pendidikan dan pengembangan Polri. Usaha yang sangat serius harus dilakukan untuk mengkaji kurikulum di berbagai lembaga pendidikan tersebut. Patokan-patokan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum baru ini adalah: 1. Pengubahan substansi Dasar Keprajuritan dari pendekatan militer menuju pendekatan quasi-militer. Pendekatan yang baru ini akan melihat materi dasar keprajuritan sebagai sarana pembentukan karakter polisi, bukan semata-mata sebagai sarana pembentukan mental kejuangan yang identik dengan mentalitas militer. 2. Pengembangan substansi materi kurikulum. Penekanan yang perlu diberikan adalah: pada validitas substansi materi dilihat dari kebutuhan kerja, alokasi jam belajar yang memadai, metode pengajaran, dan proses belajar-mengajar yang memungkinkan proses berpikir kreatif siswa. 3. Kebijakan kepersonaliaan tentang tenaga pendidik di lembaga-lembaga pendidikan dan pengembangan perlu dirubah secara mendasar. Perlu diupayakan sedemikian rupa sehingga jabatan tenaga pendidik merupakan jabatan yang prestisius, sehingga orang-orang yang terbaik dengan pengalaman yang paling memadai termotivasi untuk menjadi tenaga pendidik. Kelemahan kualitas tenaga pendidik yang selama ini terjadi dalam hal penguasaan materi, referensi pengalaman, dan motivasi dalam mengajar terasa sangat mempengaruhi kualitas output pendidikan dan pengembangan Polri. Lembaga-lembaga pendidikan pengembangan (Dikbang) selama ini tidak berfungsi sebagai wadah untuk meningkatkan kinerja SDM, melainkan sebagai pemberi karcis untuk naik pangkat dalam bentuk ijazah atau sertifikat telah lulus dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. 4. Proses seleksi yang benar-benar fair perlu ditegakkan. Untuk ini diperlukan niat baik yang sungguh-sungguh dari segenap komponen di dalam Polri, terutama bagi mereka yang menyandang pangkat Pamen dan Pati. Segala distorsi dalam proses pendidikan, baik dalam bentuk intervensi orang tua yang berpangkat terhadap proses belajar mengajar, maupun segala bentuk perdagangan nilai harus dihapuskan. Usaha yang benar-benar serius harus dilakukan untuk membentuk lembaga pendidkan Polri sebagai wadah yang paling steril dari segala macam kultur Polri yang kontra produktif. Pengembangan juga mutlak harus dilakukan melalui saluran formal organisasi Polri. Perangkat UU yang memberikan kewenangan yang mandiri bagi Polri mutlak diperlukan. Segala macam intervensi struktural terhadap penegakan hukum harus dihilangkan, dengan perlindungan yang memadai dari UU ini. Di sisi lain, perangkat etika Polri pun perlu dikaji ulang. Nuansa militer yang selama ini kental mewarnai berbagai kode etik Polri harus diubah. Upaya untuk penafsiran ulang sejarah Polri, dengan memilahkan mana semangat yang perlu diwarisi dan mana perkembangan baru yang harus dihadapi dengan semangat profesionalisme harus benar-benar ditegakkan. Polri tidak boleh terjepak pada penafsiran sejarah yang akan menjadi dasar legitimasi Polri untuk bermental militer. Pada tataran yang lebih sempit, perombakan mendasar perlu dilakukan dalam sistem personalia Polri. Sistem promosi yang lebih diwarnai oleh unsur-unsur loyalitas dan dedikasi pada atasan, dan bukan pada prestasi kerja dengan ukuran kepuasan masyarakat, perlu dirubah. Sistem ini terbukti telah membuat anggota Polri bersifat egoistik dalam bekerja. Mereka bekerja bukan untuk kepentingan masyarakat, dan mendapatkan manfaat bagi pribadi mereka dari kepuasan masyarakat. Sistem yang ada sekarang membuat anggota Polri bekerja untuk tujuan pribadinya sendiri, dan mendapatkan manfaat pribadi dari kepuasan atasan terhadap loyalitas dan dedikasinya. MARI BERUBAH Daftar Pustaka: -------, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Markas Besar Polri, Jakarta, Juli 1999 Azca, M. Najib, Hegemoni Tentara, Penebit LkiS, Yogyakarta, Agustus 1998 Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta, Cipta Manunggal, 1997 Lowry, Robert, The Armed Forces of Indonesia, Allen & Unwin, 1996 Lundman, Richard J., Police and Policing, An Introduction, Holt, Rinehart And Winston, 1980 Mas’oed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971, Penerbit LP3ES, Jakarta, tahun 1989 Noer, Deliar, Kekerasan Perlu Diganti dengan Sikap Amanah, Pengantar …,…Berbagai sumber lainnya. | |
|
Total comments: 2 | |||
| |||